JURNAL INVESTIGASI MABES | JAKARTA,-Dugaan adanya indikasi korupsi, pada proyek pengadaan alat intelijen senilai Rp950 miliar di Direktorat Jaksa Agung Muda Intelijen (JAM-Intelijen) Kejaksaan Agung pada tahun 2024, kembali mencuri perhatian pengamat publik.
Proyek yang dinilai tidak transparan tersebut, memunculkan kecurigaan terkait penyalahgunaan wewenang oleh oknum penegak hukum. Salah satu indikasi mencurigakannya adalah ketidaktahuan publik mengenai keberadaan alat intelijen yang disebut telah diadakan, termasuk lokasi penempatannya dan unit kerja yang bertanggung jawab di Kejagung.
Hal itu semakin diperparah oleh sikap pejabat terkait, yang cenderung suka sekali berlindung di balik narasi; 'rahasia negara".
*Investigasi Ungkap Kejanggalan*
Berdasarkan hasil investigasi lapangan, fakta menunjukkan bahwa perusahaan pemenang tender tidak memenuhi kualifikasi sebagai penyedia proyek bernilai ratusan miliar rupiah itu.
Perusahaan tersebut, dilaporkan tidak memiliki karyawan, papan nama bisnis, atau alamat yang jelas. Bahkan, kantor perusahaan disebut berbagi lokasi dengan bisnis lain dan sulit diakses untuk bisa konfirmasi.
Dokumen proyek menyebutkan, bahwa; pekerjaan ini dilakukan di Kejaksaan Agung, Jalan Sultan Hasanuddin No. 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Namun, detail pelaksanaan proyek tersebut masih menjadi misteri (ih ngerii..).
*Pendapat Pakar dan Seruan Transparansi*
Mantan Penasehat KPK, Dr. Abdullah Hehamahua, menyoroti prosedur yang seharusnya dilakukan sebelum proyek pengadaan dimulai. Sebagaimana dikutip dari matafakta, Menurut Abdullah Kejagung perlu memastikan bahwa:
1. Program kerja tahun 2024 telah disusun pada 2023, termasuk pengadaan barang dan jasa tersebut.
2. Tersedia Harga Perkiraan Sendiri (HPS) untuk menghindari potensi KKN.
3. Ada konsultasi dengan Lembaga Pengadaan Barang dan Jasa untuk memastikan transparansi.
"Jika tidak, maka potensi korupsi dalam proyek ini jelas sangat besar,” tegas Abdullah, Jumat (22/11-2024).
Abdullah juga menyarankan, agar Komisi Kejaksaan (Komjak) berani mengaudit proyek ini dan memantau dampaknya terhadap kinerja Kejagung di masa depan.
Sementara dikesempatan berbeda, Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menilai bahwa publik memiliki hak untuk mengetahui terkait penggunaan anggaran negara.
Iskandar juga mendesak Kejagung untuk bersikap terbuka, terutama di Direktorat JAM-Intelijen yang terlibat langsung dalam pengadaan alat intelijen tersebut.
“Jika Kejagung terus menutup diri, publik bisa jadi akan mencari cara lain. Termasuk menggunakan kekuatan media sosial, untuk dapat mengungkap fakta," ujar Iskandar.
Terkait hal itu, IAW mendorong masyarakat untuk aktif mengawasi penggunaan dana yang bernilai hampir Rp1 triliun itu.
Jika transparansi tidak tercapai, laporan ke KPK atau Mabes Polri kemungkinan menjadi langkah yang perlu dilakukan demi menciptakan mekanisme saling kontrol.
“Keterlibatan publik sangat penting untuk memastikan bahwa uang negara digunakan secara tepat,” tandas Iskandar.
Tentunya, kasus ini kembali menegaskan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran negara. Terutama, penggunaan anggaran oleh institusi penegak hukum. (Tim/Red)